Paul Ferdinand Schuil, dari Harlingen ke Kepanjen.Anda tak akan percaya apa makna sebuah Harley Davidson bagi si empunya. Sebagian dari mereka, lebih-lebih para penggemar fanatik, malah menganggap sepeda motor bermesin ganda ini, sebagai istri sendiri. Paul Ferdinand Schuil, lelaki asal Belanda, adalah salah satunya. Namun, demi seorang wanita asli Kepanjen, Malang, Paul rela menjual tiga ‘istrinya’ itu.
Paul tinggal di rumah Sri Wahyuni, wanita asli Kepanjen yang memenangkan hatinya. Rumah di Jl Panji, Kepanjen itu sederhana. Sebagian besar ruangan yang ada dimanfaatkan sang istri untuk mengelola bisnis internet.
Bule setengah abad asal Belanda ini memiliki pribadi yang ramah dan terbuka. Termasuk ketika mengizinkan Surya mampir dan mengobrol.
Ia orang yang ceplas-ceplos, tanpa basa-basi, atau, dengan bahasanya sendiri : straight to the point. “Saya paham kalau orang Jawa kaget dengan gaya saya berbicara, saya memang belum terbiasa berbasa-basi. Saya rasa, di situlah letak perbedaan budaya kita,” kata Paul, dengan bahasa Indonesia yang sudah cukup bagus.
Dulunya, Paul adalah seorang HOG (Harley Owner Group, sebutan untuk maniak motor Harley) di negara asalnya, Belanda. Dia asli Harlingen, sebuah kota kecil di sisi utara Belanda.
Untuk menjelaskan bagaimana Paul mencintai Harley Davidson, cukup mudah. Salah satu parameter, dua buah motor Harley yang dimilikinya, yaitu Duo Glide keluaran 1960 dan Road King produksi 1997, belum juga membuatnya puas.
Ia lantas membikin customize Harley, atau Harley Davidson dengan desain sendiri. Sepeda motor yang disebut terakhir ini, rampung dengan total biaya Rp 800 juta. “Terlihat mahal memang. Tapi, kalau Anda pernah naik motor saya, anda akan paham mengapa saya keluarkan uang sebanyak itu,” ucapnya enteng.
Di Belanda, Paul pemilik usaha schoen makerij, alias reparasi sepatu. “Dalam seminggu, saya libur dua hari. Dua hari itu selalu saya gunakan untuk touring dengan motor,” kata Paul, sambil memamerkan fotonya bersama tiga motor kebanggaannya itu.
Namun, tiga ‘kekasih’ Paul yang dibuat di Milwaukee, Amerika Serikat, ini ternyata harus tersisih sejak Paul menikahi Sri, wanita Kepanjen. Saat Sri tinggal di Belanda, Paul masih bisa membagi ‘cintanya’. Namun, hal itu tak lama. Sri minta pulang, dan Paul mengalah. Dengan berat hati pula, akhirnya, ia jual ketiga ‘kekasih’nya itu. “Saya tak tega melihat Sri saat itu. Buat apa saya senang, kalau ia tersiksa,” kenangnya.
Lalu, apa yang membuat Sri begitu istimewa di mata Paul? “Wanita Indonesia itu masih begitu kuat kodrat kewanitaannya. Itu tidak saya temui di tempat saya. Kuatnya emansipasi sudah melunturkan hal tersebut,” tutur Paul.
Soal hidup di Indonesia, Paul punya penilaian tersendiri. “Orang disini sangat ceroboh dalam menjaga kadar polusi. Membakar sampah di tepi jalan seperti sudah biasa,” katanya.
Namun, sebaliknya, Paul mengaku kagum dengan sikap orang Indonesia yang sangat toleran terhadap orang lain. “Di sini, orang sangat mudah memaafkan dan masih mau mendengar alasan orang lain,” tukas Paul sambil mengacungkan ibu jari tangannya.
No comments:
Post a Comment