KAMIS (15/10), partai koalisi pendukung SBY menandatangani kontrak politik. Isinya, dukungan mutlak terhadap pemerintahan SBY. Yaitu dengan menjamin kesatuan kerja antara eksekutif dan legislatif.
Artinya jelas: tidak boleh ada beda suara di parlemen terhadap kebijakan eksekutif. Dengan kata lain, anggota parlemen partai pendukung koalisi (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB) tidak boleh menentang kebijakan Pemerintah.
Tentu saja kontrak semacam ini adalah normal. Artinya tanpa ditulis dan diucapkan pun, sudah seharusnya partai koalisi berperilaku seperti itu.
Memang, pada periode politik yang lalu, SBY sering dibuat gusar oleh sikap partai pendukungnya yang tidak konsisten: di kabinet ia ikut merumuskan kebijakan, tetapi di parlemen ia menentang pemerintah.
Jadi bila kemarin kontrak itu ditandatangani, maka pesannya adalah jelas: SBY menghendaki koalisi yang 'jujur sepenuh hati'.
Disinilah masalahnya: dapatkah kontrak itu dipertahankan secara sungguh-sungguh? Bukankah kontrak itu dibuat sebelum SBY mengumumkan susunan kabinetnya? Jadi, bagaimana bila partai-partai koalisi itu kecewa dengan susunan kabinet yang akan diumumkan pada 21 oktober nanti? Masihkah kontrak itu efektif?
Artinya, seandainya jatah kabinet SBY lebih menguntungkan salah satu partai secara tidak proporsional, apakah partai-partai yang lain akan mengajukan protes? Bagaimana pula bila SBY mengangkat menteri dari Golkar dan PDIP yang bukan bagian dari 'partai koalisi'? Apakah rasa ketidakadilan itu dapat diterima? Dan yang lebih penting adalah: apakah partai nonkoalisi itu terikat dalam kontrak politik yang sama?
Politik personal SBY tentu saja mengatasi semua kekisruhan itu karena sifat kekuasaan di Indonesia adalah 'menunggu jatah'. Artinya, pada akhirnya, apapun yang diputuskan SBY dalam soal penjatahan kursi kabinet, akan diterima tanpa protes oleh siapapun.
Penjelasannya sederhana: setelah pemilu, semua partai politik kembali pada tabiat dasarnya, yaitu mengumpulkan kembali sumber dana untuk menghidupi partai. Jadi, distingsi ideologi dan harga diri partai akan tunduk pada hukum pragmatisme material. Dengan kata lain, posisi di kabinet maupun parlemen, semata-mata hanyalah akses politik untuk akumulasi material partai-partai. Maka apa pun keputusan SBY nanti dalam pembagian kursi kabinet, tidak akan ada protes ideologis dari partai-partai yang merasa dirugikan. Semuanya bersepakat diam-diam untuk memaksimalkan jabatan-jabatan publik demi kepentingan keuangan partai.
Inilah konsekuensi dari koalisi yang tanpa ikatan ideologis sejak awal pemilu. Implikasinya adalah: kontrak politik yang ditandatangan kemarin, adalah semata-mata janji tanpa jaminan. Artinya, kesungguhan menjalankan pemerintahan yang efektif hanyalah pengiyaan politis terhadap maksud pragmatis yang sesungguhnya, yaitu akumulasi material partai.
Kita bisa menguji jalan pikiran ini dengan membayangkan bahwa partai-partai koalisi harus berpikir strategis untuk politik 2014, yaitu ketika SBY secara konstitusional tidak akan lagi berpeluang menjadi prtesiden. Itu berarti, pada tengah periode pemerintahan nanti, kontrak politik yang ditandatangani kemarin akan sekadar menjadi arsip yang ditinggalkan oleh perilaku pragmatis partai yang semakin memperebutkan sumber daya politik menuju 2014.
Jadi, politik Indonesia, selama tidak diselenggarakan secara ideologis, akan terus terseret dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis partai-partai.
Maka bila hari-hari ini ada kesibukan luar biasa membahas susunan kabinet, sesungguhnya pertanyaan yang terlupakan adalah: sudahkah SBY memikirkan susunan kabinet itu dalam rangka pembangunan politik bermutu? Artinya, pada tingkat upaya konsolidasi demokrasi, seharusnya SBY berpikir untuk meninggalkan warisan sistem politik yang rasional dan berkualitas di akhir masa pemerintahannya nanti.
Satu hal dapat kita pastikan: dalam kesibukan hari-hari pertama kabinet nanti, sebetulnya ada soal yang amat genting: pelembagaan nilai-nilai demokrasi partai semakin terbengkalai. [mor]
Source: http://inilah.com
No comments:
Post a Comment