Search This Blog

Sunday, October 18, 2009

Legalisasi Prostitusi Yang Dipertanyakan

Legalisasi prostitusi menegaskan sikap terbuka bangsa Belanda pada jual-beli seks. Sungguh hal yang sangat menarik untuk disimak.

Di Belanda, prostitusi bisa jadi merupakan satu-satunya industri jasa personal yang masih bertahan. Kita pasti tidak akan bisa langsung menikmati layanan manikur di Amsterdam bila belum memesan dua pekan sebelumnya. Namun, untuk layanan seks, setiap orang bisa menikmatinya kapan saja -bahkan dengan harga menarik.

Legalisasi prostitusi Oktober 2000 semata-mata menegaskan sikap terbuka bangsa Belanda atas jual-beli seks. Namun, apakah legalisasi itu pendekatan yang tepat? Masalahnya, di Belanda sekalipun, perempuan yang menjajakan tubuhnya rutin menghadapi ancaman, pemukulan, perkosaan, dan teror. Pelakunya bisa sang germo maupun konsumen.

Dalam suatu sidang pengadilan baru-baru ini, dua bersaudara keturunan Jerman-Turki didakwa memaksa lebih dari 100 perempuan bekerja di distrik lampu merah di Amsterdam (De Wallen). Menurut seorang pengacara yang mewakili salah satu korban, sebagian besar perempuan berasal dari keluarga yang bermasalah dengan inses, kekerasan di bawah pengaruh minuman keras, maupun yang orang tuanya bunuh diri.

Para korban rata-rata berasal dari negara-negara di kawasan Eropa Timur dan Asia Tenggara. Mereka adalah korban jaringan perdagangan manusia setelah diiming-imingi pekerjaan, bisa juga karena dijual oleh orang tua akibat krisis ekonomi. Para perempuan ini adalah atraksi utama bagi para turis di Amsterdam – diikuti oleh kedai kopi yang menjual mariyuana. Namun sekitar 50-90 persen dari mereka adalah budak seks. Mereka diperkosa setiap hari, sedangkan polisi cuma berdiam diri.

Sungguh tak masuk akal bila para klien mereka tidak dituntut secara hukum karena memperkosa. Selain itu para politisi di Belanda masih silang pendapat untuk menentukan apakah para pekerja prostitusi menjalakan pekerjaan mereka sukarela atau karena paksaan. Bahkan, karena tak tahan lagi dengan situasi yang mereka hadapi, para polisi dari satuan susila di Amsterdam telah memohon untuk dimutasi ke departemen lain. Baru tahun ini pula pemerintah kota mulai menutup sejumlah tempat prostitusi karena terkait dengan organisasi kriminal.

Berdasarkan suatu studi yang diterbitkan The American Journal of Epidemiology, pekerja prostitusi rata-rata tewas pada usia 34 tahun. Di Amerika Serikat (AS), tingkat risiko pekerja seks komersil (PSK) yang tewas di lokasi kerja 51 kali lebih besar dari yang dialami perempuan yang bekerja di toko minuman keras, yang juga merupakan pekerjaan berbahaya bagi kaum Hawa.

Studi lain juga menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh PSK mengaku ingin keluar dari profesi yang berisiko ini. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang terbesit ide, paling tidak sekali, untuk bunuh diri. Tahun 1999, pemerintah Swedia tak lagi melihat penjualan jasa seks sebagai perbuatan kriminal. Namun aparat hukum Swedia bisa menindak praktik penggermoan atau membeli jasa seks.

Di bawah undang-undang “Membeli Seks” di Swedia, perbuatan membayar untuk menikmati seks bisa diganjar hukuman denda atau penjara maksimal selama enam bulan, termasuk mempermalukan pelaku kepada publik. Hasil dari undang-undang itu, jumlah PSK di Swedia anjlok hingga 40 persen. Selain itu jaringan perdagangan manusia tak lagi melihat Swedia sebagai pasar karena tak lagi menguntungkan.

Norwegia, negara yang memiliki reputasi mengalah saat berurusan dengan hak-hak perempuan, secara cermat membandingkan model Swedia dan Belanda. Kesimpulannya, model Swedia-lah yang mereka pakai. Perundang-undangan mengenai prostitusi pun dirubah. Suksesnya pendekatan Swedia tidaklah begitu mengejutkan. Menurut suatu studi di California, AS, sebagian besar pria yang membeli seks akan berpikir dua kali bila perbuatan mereka itu berisiko mendapat sorotan dari masyarakat.

Contohnya, 79 persen responden mengaku enggan main dengan PSK bila nanti keluarga mereka mendapat malu di muka umum. Selain itu, 87 persen respoden juga khawatir bila polisi bakal mempublikasikan foto atau nama mereka di suatu surat kabar lokal.

Sebagian besar laki-laki menunjukkan nafsu liar mereka kepada perempuan. Satu diantara laki-laki mengaku tak segan-segan memperkosa perempuan, sedangkan empat dari lima pria mengaku bahwa pergi ke pelacuran sudah menjadi kecanduan.

Prostitusi sering dianggap sebagai “profesi paling tua.” Namun pandangan ini semata-mata untuk membenarkan eksploitasi atas perempuan (sebenarnya ada juga laki-laki di Belanda yang menjadi PSK, namun mereka tidak dieksploitasi seperti kolega mereka yang perempuan). Maka perlu ada kepemimpinan dan suatu visi berlandaskan kesetaraan jender untuk mengakhiri prostitusi.

Cara Swedia dalam mengungkapkan dan mempermalukan konsumen prostitusi memang tidak sesuai dengan kebiasaan Belanda. Namun, bagi sebagian laki-laki, sebagian dari kenikmatan membeli seks mungkin bisa menjadi hal yang memalukan, sama memalukannya dengan yang dialami perempuan yang menjajakannya. Mempermalukan klien di muka umum tidak saja merupakan hukuman, namun juga pencegahan yang efektif.

Source: http://gugling.com

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...